Halaman

Sabtu, 24 Agustus 2013

Going by the Book (film)




Film ini seperti disodorkan begitu saja di hadapan saya. Jadi, sebelumnya tidak ada gambaran mengenai alur ceritanya. Saya mengawali menonton film ini tanpa mengharapkan akan menemukan sesuatu yang luar biasa.

Kisah diawali dengan adegan seorang polisi (Jeong Jae-young) yang tengah bersiap berangkat bertugas, diselingi adegan perampokan di suatu bank. Polisi tadi adalah petugas lalu lintas, dan ia menghentikan satu mobil yang melanggar lampu lalu lintas di jalan sepi. Ia tetap menilang pengemudi, meskipun pengemudi tersebut adalah kepala kepolisian daerah yang baru dipindahtugaskan ke daerah itu. Si polisi lalu lintas memang dikenal tegas dan tak pandang bulu. Orang menyebutnya sangat tidak fleksibel dan ‘plek teks-buk’, benar-benar mengikuti baris demi baris peraturan yang ada di buku panduan. Sikapnya ini bukan muncul begitu saja. Sebelumnya ia adalah detektif polisi. Ia menyelidiki kasus korupsi petinggi kota, tetapi langkahnya dihentikan oleh pejabat-pejabat korup, dengan alasan tidak cukup bukti. Ia sendiri dipindahkan ke bagian lalu lintas.


Sementara itu, perampokan bank yang kian merajalela membuat kepala kepolisian yang baru resah. Akhirnya diputuskan untuk mengadakan latihan simulasi perampokan, agar petugas polisi dan pegawai bank siap menghadapi situasi perampokan yang sebenarnya. Semua polisi ditentukan peranannya secara acak. Tetapi, polisi lalu lintas tadi secara khusus diberikan peran perampok oleh kepala polisi. Ia diminta untuk melaksanakannya dengan baik dan meyakinkan. Kepala polisi sepertinya ingin memberikan suatu pelajaran pada bawahannya itu setelah peristiwa penilangan dirinya.

Si Polisi ‘teks-buk’ awalnya agak ragu, tetapi kemudian dengan berat hati menerima peran perampok tersebut. Ia mulai membaca berbagai buku tentang kejahatan perampokan dan menyiapkan properti pendukung. Ia benar-benar mempersiapkan diri untuk perannya itu, seolah-olah akan melakukan perampokan yang sesungguhnya.
Plot inilah yang membuat saya terjerat oleh film ini. Seorang polisi ‘saklek’ yang berperan menjadi perampok, apa yang akan terjadi? Tentunya akan menjadi kejutan untuk Kepala Polisi yang tidak memahami anggotanya itu.


Pak Polisi ‘saklek’, tak menghiraukan saran rekan-rekannya di dalam bank, tetap berusaha menjalankan peranannya semeyakinkan mungkin. Ia menembak orang-orang yang berusaha menghalanginya, termasuk dua rekan polisi. Tapi tenang saja, ia tidak benar-benar menembak. Orang-orang yang dilumpuhkannya hanya diberi label ‘mati’ atau ‘dianiaya’ atau sejenisnya yang mungkin dilakukan oleh perampok. Di sinilah letak komedinya. Semua orang di bank mengeluh ini dan itu, tetapi tidak diindahkan. Selayaknya perampok betulan, ia mengulur-ulur waktu, bernegoisasi, dan merencanakan jalan untuk meloloskan diri.
 



Hal ini membuat para petugas gusar. Kepala Polisi yang tadinya hanya bermaksud menjadikan simulasi ini semacam pertunjukan bagi para wartawan untuk mendongkrak namanya, dibuat frustasi oleh keunikan bawahannya itu.

Di sinilah kualitas film korea terlihat. Dengan alur cerita yang sederhana, mereka mampu membuat pemirsanya bertahan hingga akhir cerita. Menurut saya, kuncinya ada pada detail emosi pada tiap karakter.



SS*: aman

1 komentar:

  1. Barusan nonton di net tv. Bener-bener film bermutu, sederhana tapi penuh hikmah...salute

    BalasHapus